Skip to content

Pendidikan, Pandemi dan Ramalan Keruntuhan Persekolahan

  • by

 

Dahulu kolonialisme menyelenggarakan pendidikan bagi bumiputera didasarkan niat ‘balas budi’ dalam politik etisnya–yang sebenarnya mereka tetap menghendaki terbelakangnya penduduk jajahan agar mudah dikuasai dan dikendalikan. Semakin mudah dikendalikan atau dikontrol, semakin tidak berdaya kesadarannya atas eksploitasi terhadap dirinya. Sekarang pendidikan digunakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan industrialisasi. Tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran pendidikan tidak untuk pendidikan itu sendiri, melainkan jauh berada di luar pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan menyediakan mitra bestari yang diserap di dunia kerja layaknya agen biro jasa penyalur tenaga kerja, tidak seperti yang selama ini disuarakan oleh para teoretikus pendidikan bahwa mereka memikul tanggung jawab sebagai agen perubahan sosial.

Tradisi lisan dan warisan nasihat dari generasi terdahulu yang ditanamkan dan dipupuk lambat laun mematikan jatidiri dan mempercepat kepunahan identitas. Umpamanya, anak-anak buruh tani diberikan pesan: “tempuhlah pendidikan setinggi-tingginya biar tidak kaya bapakmu”; atau para pekerja bangunan, tukang becak atau kuli panggul di pasar tradisional berharap pada anaknya: “semoga kelak kamu bisa jadi ‘orang’”. Lalu anak-anak itu menempuh pendidikan, dan ‘hanya’ melalui pendidikan sikap-sikap inferioritas atas dirinya direduksi dan dikikis habis. Tidak lagi sebagai orang-orang yang terpinggirkan, tetapi–dengan pendidikan–mereka telah menjadi manusia modern, hingga mereka enggan membenamkan kakinya di sawah, ogah-ogahan bergumul bercengkerama dengan tetangganya di ladang atau di selasar pasar, atau begitu kesulitan mengayunkan alat-alat pertukangan. Nalar kreasinya beku, daya inovatifnya mampet, karena terlalu banyak stok-stok pengetahuan yang dihimpunnya dari ‘pendidikan’ yang katanya sistematis, tapi nyatanya dilematis dan penuh krisis.

Orang-orang di perguruan tinggi sibuk akan karya ilmiah, bukan karya sosial yang memiliki nilai guna di masyarakat. Mereka ramai memacu diri dengan ratusan gelar ribuan guru besar, namun alpa akan aktualisasi diri terhadap nilai-nilai kemanusiaan interpersonal dan kepedulian sosal di lingkungan sekitarnya. Dan kita tidak melupakan bahwa ini semua adalah produk dari pendidikan, termasuk hasil kajian riset-riset eksperimental. Kategorisasi suatu tatanan dunia menjadi pandemi global, misalnya, juga tidak terlepas dari peran aktor yang sama.

Wabah yang melanda beberapa tahun terakhir mengakibatkan kelumpuhan di sebagian sektor, tidak terkecuali pendidikan. Dirumahkannya murid-murid dari aktivitas persekolahan merubah ‘pembelajaran’ menjadi ‘penugasan’. Interaksi guru-murid berkurang, tetapi beban orang tua bertambah. Keyakinan-keyakinan para orang tua terhadap pendidikan bergeser menjadi ketakutan-ketakutan alamiah dengan prasangka-prasangka yang mengarah pada satu intisari, yaitu tumpulnya intelektualitas pada anak-anak mereka. Kalaupun pandemi dianggap sebagai biang kerok yang menindas, ini tidak berarti mendukung argumentasi Darwinisme sosial yang mencirikan kemampuan manusia mencapai kesempurnaan (perfectability). Atau jika kondisi temporal pendidikan yang dianggap sebagai kambing hitam yang juga menindas, ini bukan bermakna membela wacana determinisme historis yang mengemukakan pandangannya tentang kemandirian individu untuk mengubah kekuatan-kekuatan Ide Absolut.

Kita tidak sedang membenturkan gagasan antara Spencerian–pengikut  mazhab Herbert Spencer (1820–1903)–dan Hegelian–pengikut mazhab Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770–1831); tetapi berusaha melihat secara objektif fenomena pandemi dan korelasinya terhadap pendidikan, melalui renungan-renungan mendalam non-teoretis. Pada tahun 1971, atau bisa jadi lebih awal, Ivan Illich telah memberikan sinyal akan kematian sistem persekolahan, yang ia sebut sebagai “pembebasan masyarakat (dari) persekolahan” (deschooling society). Ia berangkat dari asumsi bahwa kemandirian individu dan masyarakat dalam menentukan nasibnya untuk belajar lebih penting ketimbang ketergantungannya secara total pada institusi pendidikan formal, dan menolak anggapan bahwa apa yang didapat di luar sekolah tidak bernilai atau belajar sendiri tidak dapat diandalkan (Illich, 1971). Ramalan Illich kini terbukti di saat pandemi menyerahkan tanggung jawab pendidikan dari sekolah ke orang tua dan masyarakat. Sekolah menjadi tempat yang berbahaya dan ‘terlarang’ bagi anak sehingga mendekatinya berarti mendapat ‘kutukan’; serta belum lagi yang menjadi polemik antara menjadikannya sebagai tempat belajar atau mengalihfungsikannya sebagai tempat merawat orang sakit.

Sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan beserta unsur-unsurnya, melalui negara dan kebijakannya, dituntut sesegera mungkin (ad hoc) mereformasi konsep dan teknisnya terkait pendidikan, pembinaan, pengajaran, dan pemberdayaan yang disimplifikasi secara tidak langsung akibat pandemi. Ini dilakukan untuk menekan seminimal mungkin bias pribadi dan diskriminasi instruksional di tengah kompleks dan beragamnya kemampuan subjek pendidikan; atau kalau tidak mau sekolah-sekolah itu dituduh “menangguk di air keruh” atau, dalam bahasa ideologis, melakukan gejala-gejala penindasan. Morgaine dan Desyllas menerjemahkannya sebagai sistem yang mempertahankan keuntungan dan kerugian berdasarkan keanggotaan kelompok sosial yang distereotipkan–generalisasi tentang atribut kelompok tertentu yang mengabaikan keragaman individu (Morgaine dan Desyllas, 2015).

Si feminis, Simone Weil, dalam bukunya Oppresion and Liberty (Penindasan dan Kebebasan) mengajukan langkah-langkah strategisnya: “pertama-tama”, tulis Weil, “perlu didefinisikan dengan suatu batas ideal kondisi-kondisi objektif yang memungkinkan suatu organisasi sosial benar-benar bebas dari penindasan; kemudian mencari dengan cara apa dan sejauh mana kondisi yang sebenarnya diberikan dapat diubah [direformasi] sehingga membawa mereka lebih dekat ke [kondisi] ideal ini; mencari tahu bentuk organisasi sosial apa yang paling tidak menindas untuk kondisi objektif tertentu; dan terakhir, tentukan di bidang ini kekuatan tindakan dan tanggung jawab individu” (Weil, 2001). Pertanyaan sederhananya ialah apa yang sudah kita lakukan untuk pendidikan? Sebagian orang membentuk komune-komune atau sejenis komunitas belajar yang menandai dirinya dengan kepemilikan hak pendidikan anggotanya secara kolektif dengan belajar apapun dan dimanapun; sebagian yang lain berkumpul dalam lembaga swadaya masyarakat yang memfasilitasi berbagai pelatihan keterampilan praktis. Keduanya sama-sama mengupayakan pendidikan yang membebaskan, tidak harus diartikan sebagai tanpa pendidikan sama sekali, dan kita tidak cukup untuk melanggengkannya, tetapi memperjuangkannya.[]

 

Referensi

Ilustrasi: https://www.unicef.org/indonesia/id/coronavirus/cerita/kembali-ke-sekolah-di-tengah-pandemi

Illich, Ivan. Deschooling Society. New York: Harper & Row. 1971.

Morgaine, Karen & Moshoula Capous-Desyllas. Anti-Oppressive Social Work Practice. Putting Theory Into Action. London: Sage. 2015.

Weil, Simone. Oppresion and Liberty. New York: Routledge. 2001.

 

Tentang Penulis

Izzuddin Rijal Fahmi adalah alumni Magister Manajemen Pendidikan Islam IAIN Ponorogo. Penulis berkecimpung dalam kegiatan belajar-mengajar bersama anak-anak desa, pegiat literasi dan peminat sejarah lokal. Penulis bisa dihubungi melalui surel [email protected]